Wednesday, February 18, 2009

Pengembangan Sistem Kualitas Perguruan Tinggi


Oleh : Ida Anggraeni Ananda
Ida_fikomumb@yahoo.com
Idaa.ananda@gmail.com


Dimuat dalam Jurnal Visi Komunikasi Vol.1 No.3, Oktober 2002

Abstract
Dalam rangka mengantisipasi persaingan, pendidikan di Indonesia harus berubah. Berubah menuju kepada kualitas yang lebih baik. Kualitas pendidikan mengikuti pola Deming dengan berbagai modifikasi. Disamping paradigma model manajemen pendidikan tinggi yang berubah dari konsep tradisional ke konsep baru, terdapat juga elemen – elemen yang menjadi ukuran kualitas sebuah perguruan tinggi. Adapun elemen tersebut memuat syarat kualitas, metode pengukuran kualitas dan akibat jika kualitas diabaikan.

In order to anticipate the competition in global era, education system in Indonesia must be changed toward a better quality. The quality of education refers to Deming’s model with several modifications. Besides the changes of higher education paradigm, the old one into the new one, there are also many element which are the quality measurement of higher education. The elements consist of quality requirements, quality measurement strategy and the cost of non conformance.

Pendahuluan
Dalam waktu yang tidak lama lagi Indonesia akan memasuki persaingan global..Persaingan global akan dimulai pada tahun 2003 ini dengan perdagangan bebas Asean AFTA, diteruskan dengan perdagangan bebas Asia Pasifik di tahun 2010 untuk negara maju atau 2020 untuk negara berkembang. Menghadapi hal ini Indonesia tidak dapat tinggal diam. Untuk minimal tetap dapat eksis maka Indonesia harus berbenah di segala bidang. Berbicara mengenai perdagangan bebas maka hal ini erat sekali hubungannya dengan industri baik produk maupun jasa.

Memang tidak etis jika Perguruan Tinggi dilihat sebagai sebuah industri tetapi jika dilihat prosesnya maka dapat dikatakan bahwa pengelolaan sebuah Perguruan Tinggi mirip dengan pengelolaan sebuah industri. Di dalam penjelasan mengenai fungsi dan kedudukan perguruan tinggi di Indonesia disebutkan bahwa perguruan tinggi di Indonesia diantaranya berfungsi sebagai lahan/tempat untuk mempersiapkan tenaga kerja bagi pembangunan nasional, yang memiliki kemampuan akademik dan menyiapkan tenaga peneliti yang mampu mengembangkan, menciptakan dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan, teknologi serta menyiapkan calon pemimpin negara. Maka dapat dikatakan bahwa fungsi perguruan tinggi adalah mengolah input dalam sebuah proses menjadi output yang berupa ketiga hal di atas.

Sebagai sebuah organisasi atau jika dianalogkan bahwa perguruan tinggi adalah seperti perusahaan yang melakukan produksi, perguruan memiliki ciri unik. Perguruan tinggi sebagai perusahaan memiliki persamaan sekaligus perbedaan dengan perusahaan atau industri lainnya. Persamaan di antara keduanya adalah perguruan tinggi juga memerlukan keuntungan secara finansial karena tidak dapat dipungkiri bahwa untuk mengembangkan mutunya dan mengelola aset yang dimiliknya memerlukan biaya. Perbedaan antara perguruan tinggi dengan perusahaan atau industri lainnya, perguruan tinggi bukan perusahaan pemburu keuntungan finansial belaka.

Berdasarkan dasar pemikiran tersebut maka tidak salah jika dalam pengembangan sistem kualitas perguruan tinggi, digunakan acuan pengembangan sistem kualitas dalam industri modern meskipun dengan beberapa modifikasi.
Konsep Dasar Sistem Industri Modern
Proses industri harus dipandang sebagai suatu perbaikan terus-menerus (Continuous improvement), yang dimulai dari sederet siklus sejak adanya ide-ide untuk menghasilkan suatu produk, pengembangan produk, proses produksi, sampai distribusi kepada konsumen. Seterusnya berdasarkan informasi sebagai umpan ­balik yang dikumpulkan dari pengguna produk (konsumen) itu kita dapat me­ngembangkan ide-ide untuk menciptakan produk.

Roda Deming terdiri dari empat kompo­nen utama, yaitu: riset pasar, desain produk, proses produksi, dan pemasaran. Deming menekankan pentingnya interaksi tetap antara riset pasar, desain pro­duk, proses produksi, dan pemasaran, agar perusahaan industri mampu meng­hasilkan produk dengan harga kompetitif dan kualitas yang lebih baik sehingga memuaskan konsumen. Deming menjelaskan bahwa roda itu harus dijalankan atas dasar pengertian dan tanggung jawab bersama untuk mengutamakan efi­siensi industri dan peningkatan kualitas. Ia menjelaskan bahwa dengan cara menjalankan Roda Deming secara terus-menerus, perusahaan industri modern dapat memenangkan persaingan yang amat sangat kompetitif dan memperoleh keuntungan yang dapat dipergunakan unruk pengembangan usaha dan kesejah­teraan tenaga kerja.

Proses berikutnya tampak bahwa berdasarkan informasi tentang keinginan konsumen (pasar) yang diperoleh dari riset pasar yang kom­prehensif selanjutnya didesain produk sesuai keinginan pasar itu. Desain produk telah menetapkan model dan spesifikasi yang harus dilkuti oleh bagian produksi. Bagian produksi harus meningkatkan efisiensi dan proses dan kualitas produk, agar diperoleh produk-produk berkualitas sesuai desain yang telah ditetapkan berdasarkan keinginan pasar itu dengan biaya yang serendah mungkin. Hal ini dapat dicapai dengan menghilangkan pemborosan (waste) yang tenjadi dalam proses produksi itu. Selanjutnya hasil dari proses produksi yang efisien dan ber­kualitas itu didistribusikan ke konsumen (distributor atau pengguna akhir dari produk) melalui bagian pemasaran dengan harga yang kompetitif. Bagian pema­saran dari industri modern harus bertanggung jawab langsung kepada konsumen, karena mereka yang berhubungan langsung dengan konsumen itu. Setiap bagian dalam organisasi industri modern harus mendukung bagaimana pemasaran dalam meningkatkan kualitas kepada konsumen. Proses ini berulang kembali secara kontinyu sepanjang waktu (Gazpersz, 1997;6)

Gaspersz, 1997, mengatakan bahwa disamping hal-hal tersebut, agar tercipta sebuah sistem kualitas modern diperlukan transformasi manajemen. Manajemen teori “x” dan MBO (management by objectives) seharusnya beralih kepada kepada manajemen kualitas terpadu yang lebih terfokus pada perbaikan kualitas kerja untuk mencapai sasaran akhir berupa kepuasan pelanggan. Pada awal mulanya pola manajemen berdasarkan teori “x”memiliki struktur organisasi hirarki ketat, tidak boleh ada perubahan, kewenangan pembuatan keputusan berada pada manajemen puncak, fokus tradisi manajemen diktatorial, pemberian motivasi berdasarkan ketakutan, serta lokus berpusat pada diri sendiri. Seharusnya teori “x” ini bertransformasi ke arah TQM lanjut yang bercirikan struktur organisasi adalah tim otonomi, usaha perbaikan ke arah kerjasama dalam memperbaiki proses, keputusan menjadi kewenangan bagi manajemen paling bawah, fokus tradisi manajemen kearah kepemimpinan, pemberian motivasi humanistik dan lintas budaya, serta lokus meliputi sistem total (pemasok).
Perubahan Paradigma Model Manajemen Pendidikan
Sejalan dengan transformasi manajemen, sudah seharusnya manajemen pendidikanpun berubah. Karl Albrecht dalam At America’s Service yang dikutip oleh Spanbauer mengusulkan konsep manajemen pendidikan baru dengan paradigma yang lebih luas yaitu sebagai berikut:


Berdasarkan pendapat Albrecht, perubahan paradigma ini merubah bentuk piramida tradisional otoritas yang semula manajemen berada di atas sekarang lebih mengutamakan otoritas kepada konsumen dan stakeholders lainnya.

Gambar 1
Piramida terbalik Albrecht Untuk Pendidikan

Manajemen Perguruan Tinggi Berbasis Kualitas
Peningkatan kualitas dalam perguruan tinggi tidak dapat dilihat sebagai proses yang “sekejap jadi “. Kegiatan ini merupakan sebuah proses jangka panjang yang membutuhkan perubahan organisasi dan restrukturisasi yang tidak boleh kepalang tanggung. Komitmen untuk berubah ke arah mutu yang lebih baik harus dipahami oleh semua level manajemen dan harus didasari oleh kehendak mau berubah. Hal yang lebih penting disamping kemauan mau berubah adalah kenyamanan dalam melaksanakan peran dalam proses perubahan ini. Disamping level manajer yang harus paham dan tahu tugasnya tentang perubahan ini, staf pun harus tahu komitmen dari manajer mereka. Komitmen yang dideklarasikan secara jelas akan memotivasi para staf untuk mau bersama – sama melakukan perubahan bagi organisasi mereka secara sungguh-sungguh.

Spanbauer, 1992 menyatakan bahwa kunci keberhasilan program peningkatan kualitas di sebagian besar sektor industri swasta sangat dipengaruhi oleh keterlibatan manajemen, pengambilan keputusan yang tepat, cara berpikir yang mengindahkan perhitungan statistik dan pengukuran, dan pengetahuan karyawan. Beberapa komponen ini juga berlaku bagi pendidikan dalam hal:
  • Meningkatkan keterlibatan fakultas dan staf dalam hal manajemen serta pengambilan keputusan di kampus
  • Pengambilan keputusan berdasarkan kebutuhan konsumen dan mempertimbangkan data statistik yang dimiliki
  • Meningkatkan ketrampilan kepemimpinan bagi posisi manajemen
  • Memberikan otoritas lebih dan tanggungjawab didelegasikan
  • Otonomi yang lebih besar kepada tiap fakultas
  • Meningkatkan profesionalisme staf melalui pelatihan-pelatihan
  • Tehnik partisipasi yang inovatif daripada menggunakan teknik manajemen yang otokratis.
  • Komitmen berkesinambungan terhadap perbaikan kualitas, yang menekankan kepada excellence untuk semua proses
  • Praktek pengambilan keputusan didasarkan pada kebutuhan konsumen sesuai pada item mutu yang ditetapkan

Selalu diterapkan evaluasi terhadap setiap kegiatan/program yang telah dijalankan

Elemen-Elemen Kualitas Dalam Perguruan Tinggi
Kualitas sebuah perguruan tinggi berarti adalah kualitas keseluruhan dalam perguruan tinggi tersebut, yang mencakup manajemen dan sumber daya manusia, tujuan organisasi, pelayanan, operasional, dan sebagainya. Adapun elemen-elemen kualitas tersebut, strategi dalam mengukur kualitas serta akibat jika kualitas tersebut diabaikan, diantaranya adalah sebagai berikut:


1. Tujuan Organisasi
Tujuan organisasi ditetapkan dengan jelas dan tegas sehingga tidak membingungkan semua pihak. Semua anggota dilibatkan dalam membuat perencanaan tujuan. Komunikasi organisasi berlangsung ke seluruh penjuru (atas – bawah, bawah – atas, kesamping, dan silang). Proses perencanaan berlangsung secara kontinyu dan fleksibel supaya organisasi menjadi dinamis dan responsif. Kebutuhan seluruh konsumen diidentifikasi untuk dijadikan dasar pengembangan tujuan organisasi.
Strategi pengukuran:
Dokumentasi evaluasi rencana, audit instruksional, survey karyawan, survey iklim organisasi, survey kepuasan karyawan.
Akibat jika kualitas diabaikan:

  • Hilangnya dukungan dari lingkungan
  • Pelayanan konsumen yang buruk
  • Angka drop out tinggi
  • Moral karyawan rendah
  • Tujuan tidak tercapai

2. Sumber Daya Manusia
a. Pegawai
Syarat Mutu: Pegawai harus memenuhi kualifikasi minimum untuk posisinya.Kualifikasi ini harus secara periodik dianalisa.
Strategi pengukuran: Audit instruksional, evaluasi kinerja pegawai, audit sertifikasi
Akibat jika kualitas diabaikan: Turn Over pegawai tinggi, produktifitas rendah, Muncul biaya tambahan untuk pelatihan pegawai.

b. Struktural dan manajemen puncak
Syarat Mutu: Struktural harus secara aktif membina tim kerja (bagiannya) dan melakukan pengambilan keputusan secara cepat untuk mengembangkan kepuasan kerja.

  • Pihak manajemen harus memiliki kemampuan komunikasi (mendengar, menulis, berbicara dan interpersonal).
  • Menunjukkan kemampuan positif dalam hal etika, etiket, kejujuran, konsisten, adil, pengambilan keputusan yang memiliki dasar.
  • Memiliki kemauan untuk berubah
  • Memahami perilaku manusia (anggota organisasi)
  • Dapat diterima oleh semua pihak

Strategi pengukuran: Evaluasi kinerja dan survey kepuasan siswa, Kesepakatan bersama
Akibat jika kualitas diabaikan:

  • Penurunan produktifitas pribadi dan tim, ketidakpuasan siswa, informasi yang saling tumpah tindih dan mis komunikasi.
  • Terjadi “kesepakatan” dalam arti negatif
  • Kehilangan komitmen dan loyalitas
  • Banyak pegawai yang mengundurkan diri

c. Rekruitmen
Syarat Mutu: Semua perekrutan, ujian tertulis, dan interaksi antar manusia misalnya wawancara lepas dari unsur KKN dan diskriminasi agama, ras, gender,dll
Strategi pengukuran:Audit instruksional, evaluasi Quality Plan
Akibat jika kualitas diabaikan:
Citra yang buruk, turn over tinggi, biaya kuliah tinggi, biaya pendidikan karyawan tinggi.

d. Dosen
Syarat Mutu:

  • Dosen harus terbiasa dengan ketepatan waktu (kelas dimulai dan berakhir), pengumpulan nilai tepat waktu.
  • Dosen harus memiliki teknik mengajar yang bervariasi yang memenuhi harapan/kebutuhan dari siswa.
  • Mampu mengoperasikan teknologi instruksional modern (Information and Communication Technology)

Strategi pengukuran: Survey kepuasan siswa, Catatan hasil wawancara
Akibat jika kualitas diabaikan: Biaya kuliah tinggi, Biaya pegawai tinggi

3. Kurikulum dan Proses Belajar Mengajar
a. Kurikulum
Syarat Mutu:

  • Kurikulum harus konsisten sesuai dengan isi, sesuai dengan teks book, .sesuai dengan peralatan untuk praktek dan distribusi mata kuliah, perubahan harus disetujui oleh Dekan atau Pembantu Dekan I
  • Kurikulum harus disesuaikan dengan kebutuhan pasar kerja
  • Setiap program harus memiliki pelatihan/praktek ketrampilan yang dibutuhkan di lapangan kerja.

Strategi pengukuran: Survey kepuasan siswa, Survey pengguna tenaga kerja
Akibat jika kualitas diabaikan: Biaya kuliah tinggi, Biaya yang dikeluarkan oleh pasar kerja tinggi karena harus menerima pekerja yang belum siap pakai.

b. Mahasiswa
Syarat Mutu:

  • Organisasi kemahasiswaan harus tersedia dan dioptimalkan terutama yang berhubungan dengan bidang ilmunya
  • Mahasiswa tahu tentang persyaratan akademik yang berlaku (cara penilaian, presensi, ujian/assessment ,dll)
  • Pelayanan untuk mendukung kelancaran belajar mahasiswa harus tersedia
  • Patokan mutu bagi program siswa pindahan atau alih jenjang

Strategi pengukuran: Survey kepuasan siswa
Akibat jika kualitas diabaikan: Biaya kuliah tinggi,

4. Pelayanan
a. Fakultas
Syarat Mutu:

  • Setiap fakultas dan stafnya mengetahui dan dilatih tentang pelayanan
  • Melakukan review atas pelayanan yang dilakukan dan membuat rekomendasi perbaikan jika diperlukan.
  • Semua komplain harus segera ditangani dengan cepat dan efisien
  • Semua anggota fakultas harus selalu siap melayani dan memenuhi kebutuhan konsumen


Strategi pengukuran: Survey kepuasan konsumen
Akibat jika kualitas diabaikan: Kehilangan konsumen

b. Humas/bagian pelayanan
Syarat Mutu:

  • Membuat standart pelayanan yang spefisik sesuai dengan konsumen yang dilayani.
  • Selalu mengukur, memonitor, mengevaluasi pelayanan di kampus.
  • Memberikan prioritas pelayanan kepada konsumen internal karena kepuasan konsumen internal berpengaruh kepada konsumen eksternal.

Strategi pengukuran: Survey kepuasan konsumen, survey iklim organisasi
Akibat jika kualitas diabaikan: Kehilangan konsumen

5. Pemanfaatan teknologi
a. Belajar Mengajar (Teknologi Instruksional)
Syarat Mutu: Penggunaan teknologi pada setiap program yang diselenggarakan, jika memungkinkan gunakan tutorial.
Strategi pengukuran: Survey kepuasan siswa, review desain kurikulum
Akibat jika kualitas diabaikan: Citra buruk institusi

b. Unit Layanan dan pendukung
Syarat Mutu:

  • Menggunakan teknologi untuk melaksanakan proses supaya dapat lebih produktif dan efisien. enggunaan pengolahan data elektronik, kemampuan berinteraksi melalui jaringan dan melakukan dokumentasi elektronik

Strategi pengukuran:
Review pemanfataan teknologi tiap dan antar departemen
Akibat jika kualitas diabaikan:
Biaya produksi tinggi, biaya kertas tinggi

6. Pemasaran dan Promosi
Syarat Mutu:

  • Rencana pemasaran yang fleksibel
  • Mengembangkan riset yang mendukung proses pemasaran
  • Menjaga kepuasan konusmen internal dan eksternal terhadap produk dan pelayanan

Strategi pengukuran: Perubahan tingkat peminat, riset persepsi konsumen, pengukuran rencana strategi pemasaran
Akibat jika kualitas diabaikan: Biaya pendidikan tinggi, meningkatnya biaya pemasaran jangka panjang

Kesimpulan
Untuk mulai berpikir ke arah kualitas, sebuah perguruan tinggi harus:

  • Berorientasi kepada karyawan, siswa dan stakeholders sebagai pusat kualitas.
  • Pimpinan puncak/manajemen harus memiliki kemauan dan komitmen terhadap perubahan ke arah kualitas yang lebih baik.
  • Mutu merupakan kesatuan total, tidak dapat dipikirkan secara terpisah.
  • Mutu merupakan program jangka panjang, bukan instan dan harus melibatkan banyak pihak
  • Harus mulai memikirkan penyusunan standart kualitas yang terukur bagi seluruh program, unit, fakultas, dll

Pustaka
Gaspersz, Vincent, Manajemen Bisnis Total Dalam Era Global, Gramedia, Jakarta,
1997

Spanbauer, Stanley J, A Quality System for Education, ASQC Quality Press,
Milwaukee, 1992

PROGRAM PENDIDIKAN JARAK JAUH

PROGRAM PENDIDIKAN JARAK JAUH:
DAPATKAH DIJADIKAN SEBUAH ALTERNATIF PENGEMBANGAN PROGRAM PENDIDIKAN ?

Oleh: Ida Anggraeni Ananda

Latar Belakang
Pertumbuhan penduduk yang meningkat dan perkembangan ekonomi serta teknologi, membawa dampak perubahan dalam pendidikan di seluruh dunia termasuk di Indonesia. Contoh inovasi yang mengiringi perubahan tersebut adalah dengan dibukanya kelas internasional, dibukanya cabang institusi besar di beberapa negara, diversifikasi bidang ilmu yang diselenggarakan sesuai minat komunitas lokal, dll.

Apapun bentuk program yang diselenggarakan, syarat utama agar program-program tersebut memenuhi kebutuhan/selera pasar adalah masalah ketersediaan dan kemudahan akses. Namun hal ini bukanlah tanpa kendala. Kendala terbesar adalah masalah biaya sebagai contoh pasar di suatu tempat membutuhkan adanya program studi tertentu misalnya teknologi informasi tetapi institusi pendidikan lokal tidak memiliki program tersebut. Biaya tinggi tersebut diakibatkan oleh komponen-komponen seperti Sumber Daya Manusia yang harus didatangkan dari daerah lain, sarana prasarana, penyerapan teknologi (melalui pelatihan-pelatihan dll), perawatan/operasional, dll.

Teknologi komunikasi yang semakin pesat dan murah dapat dijadikan salah satu alternatif solusi untuk memecahkan permasalahan di atas. Pada contoh di atas permasalahan dapat diatasi dengan pendidikan jarak jauh dengan mengurangi frekuensi tatap muka. Hal ini pernah dilakukan di Indonesia melalui Universitas Terbuka, tetapi pada prakteknya program ini juga tidak terlepas dari kekurangan. Pada tulisan kali ini akan coba dibahas apakah pendidikan jarak jauh dapat dijadikan alternatif bagi pengembangan program pendidikan.
Apakah Itu Pendidikan Jarak Jauh ?
Banyak pemahaman tentang konsep pendidikan jarak jauh, diantaranya adalah sebagai berikut:
Sheery L dalam Issues In Distance Learning mengutip pendapat Perraton (1988), Jonassen (1992), Keegan (1986), Garrison and Shale (1987), bahwa Pendidikan Jarak Jauh (Distance Education/Distance Learning) adalah sebuah program pendidikan yang ditekankan pada terpisahnya antara pengajar/instruktur dengan siswa bedasarkan jarak dan waktu. Kontrol berjalannya program tersebut ada di tangan siswa daripada instruktur, tidak adanya kedekatan komunikasi antara pengajar/instruktur, yang diselenggarakan melalui media cetak atau beberapa bentuk teknologi.

Menurut De Anza College San Franscison oleh Watkinss (1993) pendidikan jarak jauh berarti proses belajar mengajar yang diadakan terpisah antara pengajar/instruktur dan siswa selama proses pengajaran.Mereka dihubungkan melalui media indtruksional dan memungkinkan pendidikan tersebut diadakan melalui proses interaksi. Banyak jenis teknologi, beserta pendekatan dan tekniknya yang mungkin digunakan untuk menyelenggarakan proses belajar mengajar. Tatap muka dapat saja dijadikan bagian dalam pendidikan jarak jauh. Umpan balik dapat langsung diterima (real time) atau ada penundaan masa waktu (non real time)

Berdasarkan kedua konsep tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa Pendidikan Jarak Jauh memiliki ciri sebagai berikut:
1. Jarak terpisah
2. Proses interaksi bermedia
3. Umpan baliknya langsung/tertunda (real time/non real time)
4. Kemandirian siswa tinggi

Tim Pendukung Kesuksesan Program Jarak Jauh
Tampaknya perbedaan antara pendidikan jarak jauh dengan program pendidikan yang biasa diselenggarakan (tatap muka) adalah masalah jarak/kedekatan. Namun disamping ciri, ada filosofi yang perlu dipahami dan diterapkan dalam pendidikan jarak jauh ini yaitu model instruksional bukan hanya cara informasi dikomunikasikan kepada siswa, tetapi yang terlebih penting adalah bagaimana siswa dapat menyerap serta mengembangkan pengetahuan baru dari informasi-informasi yang disampaikan. Filosofi tersebut memiliki konsekuensi logis bahwa sebuah program pendidikan jarak jauh harus dikelola secara serius (sama halnya dengan program pendidikan tatap muka) karena yang utama dalam program tersebut bukan hanya masalah pilihan teknologi/media apa yang digunakan. Sherry L mengutip pendapat Mc Nabb (1994) bahwa keberhasilan program pendidikan jarak jauh melibatkan interaksi antara pengajar/instruktur dan siswa, antara siswa dengan lingkungan belajar, antara siswa dengan dirinya sendiri seperti halnya belajar aktif dalam kelas.

Untuk mendukukung keberhasilan program, perlu diterapkan langkah proses pengembangan mulai dari mendesain sistem, pengembangan, evaluasi dan revisi. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan dalam proses pengembangan program ini adalah pengembangan tujuan, kebutuhan, karakteristik dosen dan siswa, pokok pengajaran yang dibutuhkan (isi) dan kendala teknis. Revisi harus selalu dilakukan berdasarkan masukan dari instruktur, narasumber/pakar materi ilmu tertentu dan masukan dari siswa. Hal ini dilakukan terus menerus sehingga program yang dilakukan tetap berada di jalurnya dan relevan.Tampak jelas bahwa keberhasilan program ini sangat diperlukan dukungan semua pihak yaitu Pengajar, Fasilitator dan Siswa Itu Sendiri.
Dukungan dari pihak Pengajar.
Pengajar sebagai narasumber dalam program pendidikan jarak jauh ini diharapkan memiliki kualifikasi sebagai berikut: Memiliki pengalaman dalam bidang ilmu dan secara fungsional memadai, memiliki kompetensi dalam bidang ilmu yang diajarkan, sudah dilatih untuk program jarak jauh yang efektif, bertanggungjawab terhadap pengembangan materi kuliah/belajar, menyiapkan rencana belajar, memproduksi media dan sumber belajar, memilih materi pendukung, menyampaikan pengajaran secara efektif, menentukan frekuensi tatap muka serta menentukan cara dan bentuk evaluasi/penilaian.

Dapat dilihat bahwa pengajar pada program ini seharusnya memiliki kemampuan mengorganisir yang lebih baik daripada pengajar biasa. Syarat utama yang perlu diperhatikan adalah kemampuannya dalam penguasaan teknologi komunikasi dan informasi serta kemampuan presentasi. Oleh karena itu konsekuensi bagi institusi pendidikan tinggi yang ingin membuka program ini harus mempertimbangkan program pelatihan bagi pengajar-pengajar dalam upaya memenuhi persyaratan di atas.

Schlosser & Anderson (1993) dalam Sherry L, Issues in Distance Learning mengidentifikasi bahwa beberapa ketrampilan baru yang harus dimiliki para pengajar jarak jauh adalah: memahami filosofi pendidikan jarak jauh, identifikasi karakteristik siswa, mendesain dan mengembangkan bahan-bahan studi interaktif yang mudah diakses orang (menguasai berbagai macam teknologi sehingga dapat menjangkau segala jenis kemampuan siswa), mampu mengadaptasi strategi pengajaran jarak jauh, mampu mengorganisir sumber belajar dalam suatu format yang cocok untuk belajar mandiri, terlatih dalam menggunakan sistem informasi dan telekomunikasi, terlibat dalam organisasi kampus termasuk dalam perencanaan dan pengambilan keputusan (secara akademik), mampu mengevaluasi siswa tidak hanya pencapaian secara kognisi saja tetapi sampai ke tingkat afeksi, memiliki pengetahuan tentang hak cipta.
Dukungan dari fasilitator
Fasilitator adalah perpanjangan tangan dari pengajar, meskipun seorang fasilitator bukan harus seorang pengajar. Tanggungjawabnya adalah memotivasi dan mendorong siswa jarak jauh, membuat siswa tetap antusias dan memelihara disiplin kelas, ia juga bertanggungjawab terhadap berfungsinya peralatan, membantu siswa dalam interaksi, mengelola arsip dan dokumen belajar mengajar, membantu pengajar dalam hal membuat komunikasi on line, mengirim fax, mengatur tugas, dll.

Sherry L, Issues in Distance Learning mengutip dari Schlosser & Anderson (1994) yang mengemukakan bahwa secara umum seorang fasilitator minimal adalah lulusan sarjana dari bidang ilmunya, dapat juga seorang pengajar pemula (asisten ahli) atau seorang staf biasa dengan pengalam an kerja memadai yang memiliki penguasaan teknologi informasi dan komunikasi, fasilitator dipilih karena latar belakang pendidikan, ketersediaan waktu, memilki kemampuan mengajar.

Masih oleh penulis yang sama Sherry L, Issues in Distance Learning mengatakan bahwa Talab & Newhouse (1993) mengidentifikasi beberapa pertimbangan kualifikasi seorang fasilitator: mampu membedakan antara memfasilitasi program jarak jauh dengan mengajar, mampu mempersiapkan proses belajar mengajar, penjadwalan, logistik kelas, dan tanggungjawab-tanggungjawab lain. Di samping itu dikutip pula dari ACOT (Apple Classrooms Of Tommorrow, 1992) yang menambahkan bahwa seorang fasilitator harus mampu mengelola dinamika kelas, dapat menangani masalah teknis, memahami perilaku siswa, bertanggungjawab terhadap lingkungan fisik. Oleh karena itu seorang fasilitator harus dilatih untuk mengoperasikan peralatan, mampu mengantisipasi permasalahan-permasalahan yang ada dalam proses belajar mengajar, dll
Dukungan dari Siswa
Alasan siswa memilih program pendidikan jarak jauh adalah karena kesibukannya serta ketersediaan program (seperti telah dicontohkan dalam latar belakang) sehingga mereka tidak dapat datang ke kampus secara reguler. Ada juga yang tertarik dengan program ini karena alasan kemandirian, mereka menikmati belajar secara mandiri yang menjadikan mereka lebih termotivasi dan memiliki kemampuan belajar.

Sebagai peserta aktif dalam proses belajar mengajar, perilaku siswa juga harus berubah, siswa harus mengubah perilaku dan pandangannya tentang belajar sebagai siswa jarak jauh dibandingkan dengan pandangan dan perilakunya sebagai siswa dalam program biasa. Mereka harus mau dan mampu menerima instruksi pengajaran. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Salomon (1990), ditemukan bahwa usaha mental dimana seorang siswa terlibat dalam proses belajar tergantung pada persepsinya terhadap faktor media dan pesan serta kemampuan untuk menyimpulkan sesuatu.
Pemanfaatan Media Dalam Program Pendidikan Jarak Jauh
Adopsi Teknologi
Pembelian dan perawatan peralatan-peralatan termasuk pelatihan bagi pengajar dan fasilitator untuk menggunakan teknologi secara efektif tidak menjamin sebuah program jarak jauh akan berhasil. Masih banyak faktor lain yang berpengaruh, seperti misalnya peralatan yang mudah dioperasikan dan tradisi hirarkhi serta birokrasi yang berubah karena teknologi baru. Pada kenyataannya banyak pengajar yang kurang menguasai teknologi karena mereka adalah pengajar (lebih menitik beratkan pada pengembangan potensi akademik daripada memotivasi dirinya untuk mengoperasikan alat dan meningkatkan kemampuan manajerial/minimal dalam hal pengelolaan kelas). Sukses tidaknya inovasi teknologi pada institusi/kampus sangat dipengaruhi oleh iklim sosial organisasi tersebut, dan paradigma harus diubah menjadi pemberian otoritas yang lebih besar kepada pengajar.
Pemilihan Media Program Jarak Jauh
Dalam De Anza Distance Learning Centre dikatakan bahwa pada umumnya, cara penyampaian program pendidikan jarak jauh dikategorikan ke dalam enam tipe:
1. Menggunakan bahan-bahan cetakan (printed materials)
2. Telecourses, rekaman program dengan menggunakan video yang diproduksi sendiri maupun oleh agensi tertentu yang dapat disiarkan melalui chanel televisi tertentu (misal program pendidikan di TPI pada waktu lalu)
3. Teleclasses, perkuliahan yang dilakukan secara interaktif (live program) melalui televisi atau teknologi informasi (misalnya melalui teleconference). Siswa dapat menelepon atau menghubungi pengajar untuk berinteraksi.
4. Videocourse, materi dapat dipelajari melalui rekaman dalam video, CD Rom, kaset, dll
5. Mediacourse, kombinasi beberapa komponen seperti CD Rom, artikel majalah/jurnal yang dapat dihubungkan dengan sumbernya langsung (misalnya for further information, contact us at email, call us toll free, hyperlink with, ) atau yang dikenal dengan computer assisted learning. Perbedaannya dengan video course, videocourse hanya merupakan rekaman program saja tanpa ada fasilitas hubungan langsung dengan sumber.
6. Online course, membutuhkan peralatan email dan world wide web
Kesimpulan
Melihat uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa apakah program jarak jauh dapat dijadikan alternatif pendidikan sangat tergantung kepada kesiapan Sumber Daya Manusia termasuk mengubah mind set SDM yang terbiasa dengan pola mengajar tatap muka menjadi jarak jauh, ketersediaan fasilitas, adaptasi teknologi dan perawatan peralatan, ketersediaan biaya, rangkaian persiapan proses belajar mengajar yang sangat kompleks serta kesiapan siswa. Ada kemungkinan kendala yang muncul dari sudut pandang siswa yaitu bisa jadi tidak tersedianya teknologi di tempat siswa berada.


Sumber
Internet
Feenberg Andrew, Distance Leraning:Promise or Threat, Crosstalk,Winter, 1999

Sherry L, Issues in Distance Learning, International Journal on Educational
Telecommunication, - , 1995

Katalog
De Anza Distance Learning Centre, Sillicon Valley, San Franscisco Bay, 2002